Namanya Elkana dan suatu hari ia bertemu dengan kliennya.
“Bu Elkana”.
“Ya, Pak”, jawab Elkana.
“Saya heran, Bu Elkana”.
“Heran kenapa, Pak?”, tanya Elkana.
“Ini, Bu Elkana”.
“Apa itu, Pak?”, kembali tanya Elkana
“Arsenal, Bu Elkana”.
“Kenapa Arsenal, Pak? Ada apa dengan Arsenal, Pak? Arsenal salah apa, Pak?”, gagap Elkana.
“Harganya ini lho, Bu”.
“Kenapa Pak, harganya?”, Elkana semakin panik.
“Ini tidak masuk akal, Bu Elkana. Masakan tim yang banyak kalahnya koq mengajukan angka yang sangat tinggi. Kalau menang terus menerus dan pasang harga masih wajar, Ini malah sebaliknya”.
“Oooh itu, Pak?”, nada lega mulai berhembus di nafas Elkana.
“Iya, Bu Elkana. Kenapa bisa begitu? Apa penjelasannya? Padahal tidak sukses jadi juara selama 8 tahun.”
“Saya pernah diceritakan oleh rekan saya, Pak. Bu Dahal namanya. Kata beliau, Arsenal itu justru klub yang sukses koq, Pak.”, jawab Elkana.
“Oh ya? Apa suksesnya?”
“Katanya sukses Arsenal itu berbeda dengan kebanyakan tim-tim yang Bapak lihat dan tahu. Mungkin klub-klub lain dilihat oleh orang-orang berhasil dengan mengangkat berbagai piala, memenangkan ini memenangkan itu. Namun, bagi Arsenal, setiap musim klub ini berhasil mencetak bintang-bintang baru yang diminati oleh klub-klub rivalnya. Banyak yang menjelek-jelekkan Arsenal, namun pada akhirnya mereka tidak dapat menahan giuran anak-anak muda hasil polesan Arsene Wenger, yang menjadi buruan dari mana saja. Ada Robin van Persie, Alex Song, Cesc Fabregas, dan masih banyak lagi. Itu belum terhitung yang masuk daftar gosip, seperti Theo Walcott, Laurent Koscielny, Bacary Sagna dan lain-lain”, jawab Elkana.
“Tim-tim yang Bapak tahu umumnya memenangkan sebuah gelar dengan membeli pemain-pemain yang sudah jadi alias tinggal pakai. Tebus kontraknya, pakai pemainnya, dapatkan pialanya. Sesingkat itu. Sepakbola akhirnya tidak ubah layaknya permainan video yang dimainkan anak kecil. Logikanya, jika kamu tidak memenangkan sebuah piala, artinya kamu kurang banyak mengeluarkan uang. Jika kamu telah mengeluarkan sejumlah besar uang, maka kamu akan berhadapan dengan mereka yang mengeluarkan jumlah yang lebih banyak lagi dibandingkan kantongmu. Akhirnya kamu harus berhutang, pinjam uang sana pinjam sini. Sampai akhirnya klub pun kemudian tidak sanggup lagi membayar beban hutang dan pengeluarannya, sehingga harus dijual ke pemilik modal baru. Klub akhirnya diperah, kehilangan kulturnya dan akhirnya menjadi mesin pencetak uang. Tidaklah demikian dengan Arsenal, yang konsisten dengan kultur penciptaan pemainnya. Bapak mungkin melihat klub ini terus-menerus kehilangan pemain bintangnya dan itu yang menjadi penyebab dari beberapa kekalahan mereka. Meski demikian, nyatanya mereka berhasil menyelesaikan musim 2012/2013 di posisi 4! Dengan hanya bermaterikan pemain non-bintang, Arsene Wenger tidak pernah absen memberikan klub ini tiket ke Liga Champions! Mereka juga berhasil melunasi pembangunan stadion terbaru mereka, yang konon kilaunya membuat kuno Wembley. Jika Bapak sekarang masih bingung kenapa mereka memasang tarif yang mahal, saran saya Bapak sebaiknya mencoba pergi satu kali ke Emirates. Beli tiket nontonnya dan duduk di sana, rasakan sensasi hiburan berkelas dunia. Di London saja, tidak ada pengacara top yang tidak pergi menonton Arsenal sekalipun mereka bukan pendukung The Gunners. Belum duduk di kursi termahal Emirates, berarti belum top”, tambah Elkana.
Meyakinkan. Sayangnya, Elkana pada waktu itu tidak sesukses ini menjawab kebingungan kliennya tersebut. Namun, beberapa waktu kemudian, Arsenal sendiri yang langsung menjawab keraguan.
Hari Minggu tanggal 14 Juli 2013, pukul 15:30. Sebuah taksi menembus lenggangnya jalanan ibukota, hendak mengantarkan penumpangnya menuju tujuan. Mereka melewati kawasan olahraga Senayan. Lalu lintas nampak sangat bersahabat pada waktu itu, membuat santai para pengayun tongkat golf menikmati akhir Minggu mereka. Namun, samar-samar sudah terlihat dari kejauhan akan adanya kerumunan orang banyak, yang berkumpul memadati jantung Senayan. Beberapa dari mereka sudah tiba semenjak pukul 1 siang, lengkap dengan bendera-bendera komunitas dan perkumpulannya masing-masing. Tidak mau ketinggalan, dimana ada kerumunan, disitu pun para penjaja dagangan berkumpul hendak mencari keuntungan dari antusiasme yang eskalasinya terus meninggi. Mereka menjual seragam klub sebuah tim asal Inggris yang sedang melakukan perjalanan lawatannya di Asia, hendak menyapa penggemar terbesarnya. Ya, beberapa jam ke depan lokasi ini akan dipenuhi oleh Gooners yang secara khusus terhimpun dari seluruh penjuru Nusantara. Mereka begitu bersemangat hendak menyaksikan tim kesayangannya beraksi di stadion utama Gelora Bung Karno. Pertandingan ini benar-benar menjadi penyegar dahaga bagi siapa saja, para penikmat siaran langsung sepakbola Eropa di tanah air, yang selama beberapa minggu tidak dapat menikmati tayangan kompetisi liga-liga tersebut di televisi rumah mereka karena masih menjalani masa rehat akhir musim.
Jadi tidak perlu heran, jika dalam waktu kurang dari 4 jam, jalanan yang tadinya lenggang langsung berubah menjadi tumpukan mobil pribadi dan lautan manusia. Arus kendaraan bergerak padat dan hanya dapat ditembus dengan mulus bila menggunakan bus TransJakarta. Bagi umat Muslim yang sedang berpuasa, suara adzan seakan bukan bunyi utama yang dinanti-nantikan di hari itu. Beberapa dari mereka hanya menyiapkan menu singkat untuk berbuka puasa bersama: sebotol air mineral untuk diminum ramai-ramai sebagai pembatal! Pada malam itu, bunyi peluit wasit adalah suara yang terindah bagi siapa saja yang memadati Senayan, terutama bagi seorang Gooner. Pada malam itu, Gelora Bung Karno seakan malah berubah menjadi markas The Gunners, yang siap menjamu Tim Impian Indonesia asuhan Jacksen F Tiago. Hal ini dirasakan dan dituturkan Arsene Wenger, sang pelatih Arsenal, kepada sebuah koran lokal di Jakarta, “Saya benar-benar merasa seperti di rumah sendiri. Pujian kepada seluruh penonton di Gelora Bung Karno ini”.
Menit demi menit serasa terlalu berharga untuk tidak diabadikan. Lalu lintas sinyal data operator seluler besar, yang menjadi salah satu sponsor utama kedatangan Arsenal, tidak mampu menyanggah beban data yang terus-menerus mengalir keluar masuk ke berbagai media sosial, belum termasuk gambar-gambar unggahan yang bersliweran antar telepon pintar. Isinya adalah rentetan kejadian-demi kejadian secara urut; mulai dari tibanya bus rombongan tim London Utara di kawasan FX Sudirman, para pengiring cilik yang sabar menanti kedatangan idola kesayangan mereka di ruang tunggu, suasana ruang ganti Gelora Bung Karno yang sangat memprihatinkan, aksi Gunnersaurus sang mascot Arsenal hingga ditiupnya peluit penanda dimulainya 45 menit babak pertama.
Apa yang terjadi? Tim Impian Indonesia benar-benar bak tamu di negerinya sendiri. Sorak-sorai penonton pada malam itu semakin menggila, menantikan terciptanya gol pertama untuk tim kesayangan mereka. Pada malam itu, garuda tidak bertengger di dada sebelah kiri. Tidak ada lagu kebangsaan yang dikumandangkan. Nasionalisme ditinggalkan di dalam lemari pakaian yang tertutup rapat di rumah, digantikan oleh merah putih yang bergaris biru di lengannya. Pada malam itu, detak jantung para penonton diselimuti keperkasaan perisai dan dentuman meriam. Mereka menyaksikan sang profesor memberikan kuliah 90 menitnya kepada para mahasiswa. Ia mendikte, ia mengajar, ia menunjukkan bagaimana caranya memainkan passing and moving itu, dipentaskan dengan rapih oleh kombinasi anak-anak muda yang usianya pada hari itu bahkan belum menginjak 20 tahun. Garuda pun hanya bisa melipat sayapnya, sehingga terjatuh dari langit setelah dihujani 7 tembakan meriam ke udara tanpa mampu membalas sekalipun. Akibatnya, Tim Impian bermain ogah-ogahan. Sergio Van Dijk, ujung tombak Indonesia, hanya dibuat berlari kesana-sini tanpa bola di kaki untuk ditembakkan karena terus menerus direbut semenjak memasuki lapangan tengah, hampir senasib dengan para punggawa lini belakang yang sudah kelelahan mengejar serta menutup kecepatan menusuk pemain-pemain depan Arsenal.
Pada malam itu, kekalahan Tim Impian bagi pelatih Tiago artinya adalah harus memikirkan ulang nama-nama pemain yang lebih layak untuk dianugerahi dengan sebutan “Impian”. Bagi Tim Impian, penghargaan mereka memang layak diberikan kepada kiper Meiga yang sukses mengamankan gawang Merah Putih tidak lebih dari 7 gol. Bagi Tim Impian, membalas satu gol saja seakan-akan sudah cukup untuk memberi makna kehadiran mereka pada malam itu. Satu gol, dibandingkan 7 gol, yang akan dapat memenangkan kembali jiwa kebangsaan. Sayangnya, Arsenal tidak memberikan kesempatan itu sedikit pun.
Pada malam itu, Arsenal telah berhasil meraup semuanya; pertama-tama uang para penggemarnya, berikut hati mereka. Arsenal telah berhasil meyakinkan pengikut-pengikutnya, bahwa mereka tidak salah pilih klub karena klub ini sedang dalam prosesnya untuk memanen gelar-gelar kejuaraan. Nanti, saat klub-klub lain sudah mengalami kelesuan (finansial), maka itulah saatnya Giroud, Walcott, Podolski dan kawan-kawan panen untuk mengisi lumbung golnya.
Pada malam itu, sebelum konferensi pers ditutup dan Arsenal akan langsung berangkat untuk melanjutkan perjalanannya ke Vietnam, seorang anak perempuan membuka catatan yang telah sebelumnya ia siapkan. Matanya menatap sang profesor, tangannya memegang pengeras suara, menanyakan kepastian Wenger untuk tetap mengarsiteki Arsenal bahkan setelah 2014. Monsieur pun menyatakan bahwa hatinya tetap untuk Arsenal. Pindah klub adalah hal yang mudah baginya bila ia ingin melakukannya dari jauh-jauh hari, namun hatinya disini bersama Arsenal. 8 tahun tanpa gelar bukanlah masalah, tidak ada yang perlu disalahkan dan tidak ada kesalahan yang perlu dicari-cari. Asalkan hati seorang penggemar sudah dimenangkan (untuk terus bersama sebagai pelatih), itu sudah lebih dari cukup. Arsenal percaya Arsene. Itu adalah yang terpenting.
Namanya Elkana dan setelah pertemuannya dari klien itu, ia diberitahu oleh Bu Dahal. Bahwa untuk mengalahkan Arsenal di final Liga Champions, maka dibutuhkan Real Madrid bermaterikan: Iker Casillas, Sergio Ramos, David Beckham, Zinedine Zidane, Figo, Ronaldo, Raul Gonzales dan seorang pemain imajiner bernama Santiago.
Daulat Yosua R. Hutapea
Direktur PT. Grafika Laras Dinamik / Pemilik Printees Custom T-Shirt