
Bayangan menjadi seorang pahlawan dalam benak kita mungkin adalah orang-orang dengan kapasitas sebagai pemimpin di tengah masyarakat. Para pemimpin (dalam arti mempunyai kedudukan) dinilai seharusnya bisa menjadi figur pahlawan karena mereka mempunyai kapasitas, relasi, kebijakan, power dan keputusanyang bisa menggerakan bahkan mengubah roda kehidupan masyarakat.
Di Indonesia, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pemimpin dan wakil rakyat menurun. Pada Juli 2012 Lembaga Riset Charta Politica.melakukan survei kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hasilnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja pemerintah khususnya terkait dengan permasalahan ekonomi dan hukum. Survei dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 2.000 responden, dengan margin error sebesar 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dari data yang ada, tercatat 67,4 persen orang tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ekonomi, 58,3 persen tidak puas di bidang hukum, 48,1 persen bidang kesehatan, 46,9 di bidang pendidikan, serta 43,5 persen masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang keamanan.
Sedangkan menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal Januari 2012 mengungkapkan bahwa pada periode Desember 2005 hingga 2007, persepsi kepercayaan masyarakat masih stabil yaitu 23 persen, 24 persen dan 20 persen. Bahkan, pada Desember 2008 mencapai 32 persen. Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, memaparkan bahwa pada Desember 2009, tingkat kepercayaan mulai turun drastis yaitu hanya 5 persen. Pada Desember 2010 turun menjadi 2 persen dan bahkan pada Desember 2011 jauh menurun mencapai angka -7 persen (minus tujuh persen) atau masuk kategori buruk. Kondisi ini bahkan jauh lebih buruk jika dibandingkan pada masa awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak periode 1 (2004-2009)
Data telah berbicara, bahkan jika ditanya langsung pada diri kita sendiri saat ini, kita mungkin merasa tidak puas, marah dan muak terhadap kinerja orang-orang yang mengaku sebagai wakilnya rakyat ini. Lalu, apakah tidak ada pemimpin yang dapat dijadikan panutan, dipercaya, dan diteladani di bangsa ini ? Pilgub DKI pada bulan September sepertinya memberikan harapan dengan terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Keduanya telah sampai hari ke 44 bekerja telah memberikan pengaruh baik kepada masyarakat dan menuai tanggapan positif dari masyarakat.
Saat ini saya tidak ingin membahas kedua orang itu (jokowi dan ahok), tetapi lebih kepada para pemimpin daerah Indonesia lainnya yang mungkin kita tidak kenal dan sedikit kurang populer (kecuali kita berada di daerah yang mereka pimpin tentunya). Mereka orang yang diberi amanah untuk memimpin rakyat di daerah dan menjalankan amanah dengan baik. Siapa saja mereka? Kembali saya mengambil contoh dari acara yang sangat inspiratif Kick Andy heroes. Meraka adalah Suryatati A Manan, Walikota TanjungPinang propinsi Kepualauan Riau (Kick Andy heroes 2010) serta Johanes Barnabas Ndolu, tokoh adat Nusak Ba’a di Pulau Rote (Kick Andy Heroes 2011).
Perempuan Berpolitik Pencinta Sastra
Dikutip dari www.kickandy.com/heroes, karir Tatik (panggilan Suryatati) sebagai abdi negara dimulai pada tahun 1979 sebagai kepala sub bagian perundang-undangan di sekertaris daerah kabupaten Riau dan sekarang menjadi provinsi kepulauan Riau. Kemudian karirnya terus melesat pesat sebagai pengabdi negara dengan menempati beberapa posisi seperti menjabat sebagai camat, Kepala Dispenda hingga akhirnya menjabat sebagai walikota administratif Tanjung Pinang yang hingga kini telah dijabat selama tiga periode berturut-turut.
Selama 13 tahun dipucuk pimpinan – sejak Tanjung Pinang menjadi kota administrasif – ia membawa Tanjung Pinang ke peringkat cukup tinggi dalam Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan mendapat penghargaan dari pemerintah pusat. Diantaranya adipura untuk kota Tanjung Pinang selama lima kali. Serta memecahkan rekor MURI karena dia terpilih sebanyak empat kali diantaranya dengan rekor suara terbanyak pada saat pilkada yang mencapai 80 persen (tepatnya 84,25%) dan sebagai pemrakarsa pencatatan berbalas pantun terlama se-dunia tahun 2008. Selain dari dalam negeri, ia juga beberapa kali mendapatkan penghargaan dari luar negeri seperti dari Malaysia dan Paus Paulus di Roma karena telah menciptakan kerukunan antar umat beragama di Tanjung Pinang.
Dikutip dari http://www.tanjungpinangkota.go.id/ Suryatati merupakan 1 dari 9 tokoh politik perempuan Indonesia yang dianggap berhasil, baik dalam kancah politik lokal maupun nasional. Selain Suryatati ada dua Kepala Daerah perempuan di Indonesia yang diapresiasi kiprahnya, yakni Walikota Surabaya Tri Rismaharani dan Bupati Karang Anyar Rina Iriani. 6 wanita lainnya di bidang politik ini adalah Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, Retno L.P Marsudi, Eva Kusuma Sundari, Nova Rianti Yusuf, serta Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati.
Ditengah-tengah kesibukannya mengurus masyarakat dengan segala macam persoalannya, ia masih menyempatkan diri untuk menekuni dunia sastra. Sudah 4 buku kumpulan puisi yang diterbitka sejak tahun 2006 hingga sekarang. Selain itu juga sudah terbit dua buah buku kumpulan puisi karangannya bersama penulis nasional Martha Sinaga. Tidak banyak Kepala Daerah yang serius berkecimpung di dunia sastra, namun dengan serius digeluti Suryatati. Kiprahnya mendorong perkembangan sastra melayu, termasuk pantun yang menjadi icon budaya Tanjungpinang, diakui tidak saja di tingkat nasional, tetapi hingga negara tetangga. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri media tersebut meletakkannya sederet dengan tokoh lainnya.
Suryatati, ingin Tanjung Pinang maju dan berbudaya. Ia ciptakan kondisi agar seni dan budaya Melayu berkembang di sekolah dan komunitas. Ia membangun ruang agar sanggar seni bisa tampil. Ia memprakarsai pekan seni setiap tahun. Menurut Tatik, kemajuan Tanjung Pinang ditentukan oleh perubahan pola pikir dan cara pandang tentang kota itu. Namun, ketika dia mewujudkan gagasan untuk kembali menggelorakan pantun Melayu dan mencanangkan Tanjung Pinang sebagai ’Kota Gurindam, Negeri Pantun’.
Revitalisasi Budaya
Johanes Barnabas Ndolu atau biasa dikenal dengan sebutan John Ndolu sudah mendedikasikan dirinya sebagai pekerja sosial yang menangani Program Pengembangan Keluarga (Family Development) Tuatiti di pulau Rote sejak tahun 1986. Laki-laki yang kini menjabat sebagai tokoh adat (Maneleo Umum atau raja kecil) Nusak Ba’a ini sudah bertahun-tahun merasa resah memikirkan tradisi masyarakat di Pulau Rote.
Tradisi yang dimaksud adalah praktik Tu’u. Selama beratus tahun, di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur prosesi kematian dan pernikahan dilakukan dengan tu’u belis atau sumbangan bersyarat, yakni memberikan uang sejumlah 20 juta rupiah sebagai ongkos kawin. Temtu saja hal ini adalah pesta pora dan bukan pesta biasa. Dalam ritual ini masyarakat minum dan makan daging selama berhari-hari. Puluhan hingga ratusan domba, babi, sapi, atau kuda juga disumbangkan untuk dikorbankan. Kemeriahan pesta adalah mutlak, tak peduli si kaya atau miskin karena kemeriahan tak mengenal status ekonomi.
Masalahnya adalah sumbangan bersyarat tersebut dicatat sebagai hutang. Nama penyumbang dan sumbangan disimpan rapi untuk pengembalian. Mengembalikan sumbangan wajib hukumnya. Kalau tidak, yang bersangkutan akan dipermalukan dengan pengumuman saat pesta dilakukan. Saling sumbang bernilai jutaan rupiah ini pun menjerumuskan warga pada jeratan utang, yang bahkan diwariskan. Di Rote, tak sedikit kasus putus sekolah karena tak ada biaya. Namun, untuk pesta kematian atau pernikahan, tak ada istilah miskin. Warga lebih malu tiada pesta daripada anak-anaknya putus sekolah. Dampak lain yang ditimbulkan oleh tradisi pesta pora yang berlebihan masyarakat Rote adalah tingginya angka penderita gizi buruk.
Merasa khawatir dengan pengalaman yang dialaminya sendiri, juga kondisi masyarakat Rote membuat John Ndolu yang pada tahun 2002 terpilih menjadi kepala suku berupaya menggunakan jabatan politis tersebut untuk melakukan terobosan dengan melakukan revitalisasi terhadap adat yang menjerat leher masyarakat Rote. Setelah perdebatan terjadi, akhirnya masyarakat nusak Ba’a yang dipimpin oleh John Ndolu menyetujui diakhirinya praktik tu’u. Revitalisasi budaya tersebut memangkas ongkos pesta hingga belasan juta rupiah. Mas kawin yang dulunya Rp 20 jutaan, disepakati warga cukup Rp 3,6 juta. Sanksi pun diatur, berupa denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta untuk pelanggaran, menyembelih ternak berlebihan, atau menyediakan daging mentah untuk dibawa pulang.
Hingga saat ini John Ndolu masih terus mensosialisasikan budaya baru ini pada nusak-nusak lainnya. Selain revitalisasi terhadap adat yang menjerat masyarakat Rote, John Ndolu juga melakukan inovasi dibidang pendidikanIa membuat tu’u pendidikan yang ditujukan untuk membuka peluang bagi anak-anak Rote, untuk belajar hingga ke tingkat perguruan tinggi.
Inspirasi Buat Kita
Dalam keadaan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah ternyata masih ada para pemimpin yang peduli dengan keadaan masyarakat. Belajar dari hal ini, bahwa jabatan politis ataupun dunia kerja harusnya bisa digunakan untuk melakukan kebaikan dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Dari Suryatati kita belajar bagaimana ia sangat dipercaya rakyatnya. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kerukunan di TanjungPinang yang heterogen tentu bukan pekerjaan yang setahun dua tahun, dan tentu sangat sulit. Begitu juga dengan John Ndolu, merevitalisasi yang nama nya Budaya adalah hal yang beresiko dan hampir tidak mungkin. Tapi dengan kegigihannya, Ndolu berhasil dan membuka paradigma masyarakat yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik.
Beresiko ? ia jelas. Mundur? Tentu tidak. Ketika kita tahu ada hal yang harus dijawab, mari berupaya seoptimal mungkin dengan peran yang saat ini kita kerjakan. Pasti ada jalan keluar. Kita tidak berjuang sendiri untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Masih ada harapan.
(Ditulis oleh Nandasetya - @nandasetyakk)